Minggu, 24 Maret 2013

النفاق Nifaq (kemunafikan)

تعريفه : النفاق لغة - مصدر : نافق - يقال : نافق ينافق نفاقا ومنافقة ، وهو مأخوذ من النافقاء : أحد مخارج اليربوع من جحره ، فإنه إذا طلب من واحد هرب إلى الآخر وخرج منه - وقيل هو من النفق ، وهو السرب الذي يستتر فيه (1) أما النفاق في الشرع فمعناه إظهار الإسلام وإبطال الكفر والشر . سمي بذلك لأنه يدخل في الشرع من باب ، ويخرج منه من باب آخر . وعلى ذلك نبه اللّه تعالى بقوله : { إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ } [ التوبة : 67 ] ، أي الخارجون من الشرع . وجعل اللّه المنافقين شرا من الكافرين فقال : { إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ } [ النساء : 145 ] ، وقال تعالى : { إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ } [ النساء : 142 ] ، { يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ }{ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ } [ البقرة : 9 - 10 ] . أنواع النفاق: النفاق نوعان: النوع الأول : النفاق الاعتقادي ، وهو النفاق الأكبر الذي يظهر صاحبه الإسلام ويبطن الكفر - وهذا النوع مخرج من الدين بالكلية وهذا النفاق ستة أنواع (2) :) من رسالة لابن القيم في بيان صفات المنافقين .( 1 - تكذيب الرسول صلى الله عليه وسلم . 2 - تكذيب بعض ما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم . 3 - بغض الرسول صلى الله عليه وسلم . 4 - بغض بعض ما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم . 5 - المسرة بانخفاض دين الرسول صلى الله عليه وسلم . 6 - الكراهية لانتصار دين الرسول صلى الله عليه وسلم . النوع الثاني : النفاق العملي - وهو عمل شيء من أعمال المنافقين مع بقاء الإيمان في القلب ، وهذا لا يخرج من الملة - لكنه وسيلة إلى ذلك . وصاحبه يكون فيه إيمان ونفاق « أربع من كن فيه كان منافقا خالصا . ومن كانت فيه خصله منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها . إذا اؤتمن خان ، وإذا حدث كذب ، وإذا عاهد غدر ، وإذا خاصم فجر » (3) الفروق بين النفاق الأكبر والنفاق الأصغر : 1 - أن النفاق الأكبر يخرج من الملة ، والنفاق الأصغر لا يخرج من الملة . 2 - أن النفاق الأكبر اختلاف السر والعلانية في الاعتقاد . والنفاق الأصغر اختلاف السر والعلانية في الأعمال دون الاعتقاد . 3 - أن النفاق الأكبر لا يصدر من مؤمن ، وأما النفاق الأصغر فقد يصدر من المؤمن .

Lembaga Kajian Islam Al-Falah membuka kelas baru

Al-Hamdulillah setelah vakum beberapa lama kini LSI-Al-Falah bangkit lagi dan merubah sedikit namanya Menjadi LKI (lembaga Kajian Islam) Al-Falah insya Allah dengan semangat baru dan ilmu yang terus meningkat

Rabu, 19 September 2012

Hukum melafalkan niat dalam shalat

Sebagian besar ummat Islam di Indonesia semenjak kecil telah diajarkan sebelum shalat, maka harus berniat terlebih dahulu. Seperti “usholli fardha zuhri...” atau “ushalli fardha maghribi tsalatsa...” dan ushalli ushalli lainnya, dan menyandarkan hal ini sebagai mazhab Asy-Syafi’i, benarkah?.

Dalam banyak hal, kita dapatkan pendapat dari beberapa ulama syafiiyah menyatakan bahwa niat itu tidak diucapkan, diantaranya adalah ucapan Al-Imam An-Nawawi;
 قال اصحابنا والنية هي القصد فيحضر في ذهنه ذات الصلاة وما يجب التعرض له من صفاتها كالظهرية والفرضية وغيرهما ثم يقصد هذه العلوم قصدا مقارنا لاول التكبير ويستصحبه حتى يفرغ التكبير) المجموع شرح المهذب 3/278 maktabah syamilah Shahabat-shahabat kami berkata, “Niat itu adalah al-qashd (keinginan) yang dihadirkan dalam hati untuk shalat dan segala yang berkaitan dengannya seperti sifat-sifatnya seperti dzuhur, shalat fardhu dan selain keduanya, kemudian keinginan shalat ini (al-Qashd) ini berbarengan dengan takbir pertama, dan terus mennyertainya hingga selesai takbir (al-majmu’ syarh Al-Muhadzzab 3/278 maktabah syamilah) Di tempat lain beliau secara tegas mengatakan,

 يجب أن يبتدئ النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان ويفرع منها مع فراغه منه

Wajib memulai niat dengan hati disertai memulai takbir dengan lisan, niat itu selesai bersama selesainya takbir (3/277) . Adapun melafalkan niat dengan ucapan ushalli fardh... sebenarnya itu bukanlah pendapat Imam Syafi’i melainkan pendapat Abdullah Az-Zubairi, salah satu ulama bermadzhab Syafi’i. Sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi,

وقال صاحب الحاوى هو قول ابى عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان لان الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير

Dan berkata Pengarang Al-Hawi, “Itu adalah ucapan Abdullah Az-Zubairi, sesungguhnya beliau berpendapat, tidak cukup bagi seseorang dalam hal niat, kecuali dengan mengumpulkan antara niat dalam hati dengan ucapan lisan, karena Imam Syafi’i mengatakan dalam bab haji: ‘Apabila ia berniat haji atau umroh (dalam hati), maka itu sudah cukup baginya, meski tanpa ucapan, tidak seperti sholat yang tidak sah kecuali dengan ucapan’…. (Imam Nawawi mengatakan): “Para sahabat kami mengatakan: Orang ini (Abdullah Az-Zubairi) telah jatuh dalam kesalahan, karena yang dimaksud oleh Imam Syafi’i ‘ucapan dalam sholat’ adalah ucapan takbir bukan ucapan niat.... (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzdzab 3/241)
Dan hal ini berarti, bahwa pendapat yang mendukung adanya pelafalan atau pengerasan niat jatuh ke dalam derajat yang sangat lemah dan bahkan para ulama membid’ahkannya. Hal ini dikarenakan beberapa hal, diantaranya:  
Yang pertama, bahwa pendapat ini hanya disampaikan oleh satu orang, yaitu Az-Zubairi dan kemudian diambil oleh banyak orang.  
Yang kedua, Az-Zubairi salah memahami perkataan Imam Syafi’i mengenai antara niat haji dan shalat. Yang dikeraskan dalam shalat yang dimaksud adalah takbir, dan bukan niatnya.
Yang ketiga, seandainya pun Az-Zubairi menqiyaskan (menganalogikan atau menyamakan) antara niat haji yang dikeraskan dengan niat shalat, maka hal ini pun keliru. Niat shalat tidak boleh disamakan dengan niat haji, karena pada dasarnya perintah shalat turun terlebih dahulu sebelum haji. Dan kaidah penting dalam ilmu fiqh adalah yang terdahulu tidak boleh disamakan dengan apa yang turun sesudahnya.  
Yang keempat, tidak ada dalil yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang memerintahkan untuk melafalkan niat. Jika ada hadits-nya maka hadits itu derajatnya dhaif (lemah). Sama sekali tidak ditemukan riwayat yang shahih mengenai anjuran mengeraskan niat, baik itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, tabi’in, dan imam 4 madzhab. (Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, Al-Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah)
Bahkan, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad dan Al-Huda An-Nabawi menyatakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk shalat beliau mengucapkan “Allahu Akbar” dan beliau tidak berkata apapun selain itu. Beliau juga tidak melafalkan niatnya dengan keras. Beliau tidak berkata, “Saya berniat shalat karena Allah begini dan begini sambil menghadap kiblat, empat rakaat...” (Al-Minzhar hal. 22) "Niat letaknya di hati, bukan di lisan, berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Hal ini mencakup seluruh ibadah, seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, pembebasan budak, jihad, dan lain sebagainya" (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu'ah Ar Rasail Al Kubra I/243) Dengan begini, jelaslah kepada kita bahwa mengeraskan atau melafalkan niat dalam shalat adalah perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salafushshalih. Melainkan karena pendapat satu ulama –yang semoga Allah merahmatinya dan mengampuninya- yang tidak memiliki dalil yang shahih. Faidah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Seandainya ia mengatakan dengan lisannya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diniatkannya dalam hatinya, maka yang menjadi patokan adalah apa yang diniatkannya bukan apa yang diucapkannya. Seandainya ia berkata dengan lisannya, namun tidak ada niat dalam hatinya, maka hal itu tidak sah berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin. Karena niat itu sejenis maksud dan tekad" (Lihat Shahih Fiqh Sunnah I/148, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim)

Selasa, 09 Februari 2010

Buah kesabaran dalam berbuat baik

Abu Al-Qasim Abdullah bin Abu Al-Fawaris Al-Baghdadi menuturkan: “Aku mendengar Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzaz Al-Anshari menuturkan;
Aku tinggal di dekat Makkah. Suatu hari aku merasa sangat lapar, tapi kau tidak mempunyai makanan. Tiba-tiba aku menemukan sebuah bungkusan dari Ibrisim yang diikat dengan rumbai yang terbuat dari Ibrisim juga. Aku kemudian mengambilnya dan membawanyake rumah.

Minggu, 10 Januari 2010

Penghafal Al-Qur'an Cilik dari Makassar




Muhammad Gozi Basayev nama lengkapnya. Lahir 24 Juni 2000, Gozi - biasa dia dipanggil - adalah putra pertama pasangan M.Natsir dan Erika yang bertempat tinggal di Makassar Sulawesi Selatan. Sejak usia 6 tahun, Gozi telah memulai untuk menghafal Al-Qur'an dan dalam waktu 2 tahun dia berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an diluar kepala.
Inspirasi dari Shamil Basayev
Ketika Gozi lahir saat itu sedang terjadi perang antara mujahidin Chechnya melawan pasukan Rusia. Salah seorang komandan perang Chechnya yang terkenal ketika itu adalah Shamil Basayev. Dia adalah seorang Mujahid yang gagah berani dan juga seorang yang hafidz Al-Qur’an. Ayah Gozi sangat terinspirasi dengan profile beliau sehingga memberikan nama anaknya Muhammad Gozi Basayev yang berarti Muhammad – diambil dari Nabi Muhammad, Gozi yang berarti perang dan Basayev yang merupakan nama belakang Shamil Basayev.
Lahir dari Keluarga biasa dan hampir dimasukkan ke sekolah Nasrani
Pada umumnya, seorang penghafal Al-Qur’an lahir dari keluarga yang sangat dalam ilmu keislamannya. Gozi kecil lahir bukan berasal dari keluarga Ustadz ataupun kyai tetapi datang dari seorang ayah yang hanya seorang karyawan kecil di sebuah perusahaan musik dan Ibu rumah tangga. Kemampuan membaca Al-Qur’an kedua orangtuanya pun biasa-biasa saja. Tetapi walaupun demikian kedua orang tuanya memiliki harapan yang sangat tinggi terhadap anaknya yaitu menjadi penghafal Al-Qur’an.

Kamis, 07 Januari 2010

Sejarah Kelam kaum syiah Rafidah


Ketika Rasulullah saw wafat, terjadilah dialog diantara para shahabat siapa yang pantas menjadi pemimpin umat islam sepeninggal beliau. Setelah melalui permusyawarahan yang panjang di Bani Tsaqifah, maka terpilihlah Abu Bakar Ash-Shidq sebagai khalifah pertama yang memimpin umat Islam. Umar bin Khattab lah orang pertama yang membaitnya untuk menjadi khalifah. Setelah itu berbondong-bondonglah orang-orang membait beliau. Ibnu Asakir dalam tarikhnya menjelaskan bahwa ketika Ali bin Abi Thalib berada di Kuffah beliau ditanya oleh Ibn Al-Kawwa dan Qais bin Ubbad tentang adanya pesan dari Rasulullah atas kekhalifahan setelah beliau, maka Ali bin Abi Thalib pun menjawab "Adapun tentang pesan-pesan Nabi saw tentang perkara ini (pemimpin) maka tidak ada. Demi Allah akulah orang yang pertama kali yang beriman dengan seruannya, maka aku tidak akan mau menjadi orang pertama yang berbohong atasnya. Sekiranya ada perjajnjian-perjanjian Nabi saw terhadapku tentang perkara ini, niscaya aku tidak membiarkan saudara Bani Taim bin Murrah (Abu Bakar RA) dan Umar bin Khattab berdiri di atas mimbar Nabi SAW, pastilah aku perangi mereka dengan tanganku ini. Jika aku tidak mempunyai senjata, maka akan aku gunakan selendang ini.

Jumat, 18 Desember 2009

Fatwa Tentang Keluarga Islami


(S) Bagaimana Islam mempersiapkan keberadaan seorang anak sebelum kedua orang tuannya menikah?
(J) Jika maksud yang paling inti dari dibentuknya keluarga adalah anak yang shaleh, -sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian dari pendapat Al-Gazali dan lainya- maka tidaklah mungkin hanya sekedar pertemuan antara seorang pria dengan seorang wanita dapat mewujudkan tujuan tersebut, tetapi harus memperhatikan kaidah-kaidah dan asas-asas yang diatasnya lah bangunan keluarga dibangun, sebagaimana yang ditetapkan Islam, dimana dijelaskan perkara-perkara yang harus diketahui ketika memilih pasangan hidup yang mampu membantu terwujudnya maksud tersebut. Merupakan kewajiban bagi pemuda untuk memilih seorang wanita yang memiliki komitmen agama dan akhlak yang baik. Inilah yang ditegaskan Rasulullah SAW dengan sabdanya:
”Dunia itu adalah perhiasan dan sebaiknya perhiasan adalah wanita yang shalehah.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).Dan dengan sabda beliau:”Sebaiknya perempuan adalah ....perempuan quraisy yang paling baik adalah yang paling lembut terhadap anak ketika kecilnya dan yang menjaga harta yang dimiliki tangan suaminya (mutafaq ‘alaih dari riwayat Abu Hurairah RA).