Selasa, 10 Maret 2009

Pemilu dan Demokrasi dalam Pandangan Islam

Islam agama yang Syumul (komprehensif)
Tidak ada satu kejadian dalam kehidupan ini kecuali terdapat ketentuan hukumnya dalam syariat Islam, baik itu hukumnya wajib, mandub, haram, makruh, mubah, shahih, bathil, azimah ataupun rukhsah.
Adanya perintah yang bersifat kolektif
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. 9:41)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 5:38)
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. 24:2)
Inilah kandungan dari nash-nash syar’I ini yang dibebankan kepada seluruh umat Islam.
Dalam tataran aflikasinya tidak bisa melibatkan seluruh umat secara langsung, maka muncullah dalam konsep fikih islami sebuah teori yang disebut An-Niyabah (perwakilan).
“Barangsiapa yang mendapatkan persetujuan dari kaum muslimin untuk menjadi khalifah atau pemimpin maka ia diangkat menjadi imam atau pemimpin kaum muslimin”
Kenapa para fuqaha mengatakan demikian? Karena umat ini diwajibkan untuk melaksanakan hukum-hukum syariat, sedang pelaksanaanya secara langsung (tanpa sebuah lembaga resmi) tidak memungkinkan. Apalagi dengan jumlah umat yang sangat banyak. Maka prinsif An-Niyabah (perwakilan) dan berdasarkan pandangan bahwa orang yang ingin menegakkan hak tidak harus dilakukan lansung olehnya, tetapi boleh diwakilkan kepada orang lain atau perwakilannya. Maka umat memilih orang tersebut (yang telah mendapatkan persetujuan) untuk menjadi khalifah atau pemimpin yang akan mewajibkannya dalam melaksanakan kewajiban ini.
Inilah yang kemudian dikenal dalam istilah fuqaha sebagai Ahlul hilli wal aqdi, yaitu sekelompok orang yang dipilih dan mendapatkan persetujuan dari umat , pendapat-pendapat mereka dijadikan rujukan seluruh umat serta mendapat kepercayaan.
Semua ini akan terlaksana, jika pemilihan dilakukan melalui proses pemilihan dari umat sendiri
PEMILU PADA MASA PERMULAAN ISLAM (KHULAFAURRASYIDIN) DAN PERAN AHLUL HALLI WAL ’AQDI
Pada masa ini ahlul hilli wal aqdi ini tidak dipilih secara terang-terangan dengan melakukan pemilihan umum.
Kondisi ini terjadi karena kredebilitas orang-orang pilihan ini telah nampak jelas ditengah-tengah masyarakat, dengan awal masuk Islam, ketajaman pemikiran dan kemasyhuran tentang keshalehan mereka di tengah umat. Sekaligus keterwakilan umat juga tidak begitu majemuk dengan sedikitnya problem umat.
Adapun pemilihan khalifah,mereka mengadakan pemilihan secara umum, pemilihan Abu Bakar secara bait umum. Umar walaupun mendapatkan instruksi dari Abu Bakar, namun keterpilihan beliau bukan sekedar instruksi tersebut, karena hal itu hanya berupa pencalonan Abu Bakar atas dirinya, dan walhasil pencalonan Abu Bakar atas Umar ini disetujui oleh umat dengan membait beliau sebagi khalifah. Demikian halnya dengan Utsman bin Affan pemilihan beliau dilakukan dengan syura dan pemilihan dari umat. Pada masa hari-hari terakhir Umar menunjuk 6 orang yang akan menggantikannya, “Utsaman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas dan Abdurrahman bin Auf”.
Dalam masa ini diriwayatkan bahwa 6 shahabat ini bermusyawarah siapa yang diantara mereka yang diangkat menjadi khalifah. Di sini terlihat peran Abdurrahman bin Auf, dimana ia menyatakan, “Berhari-hari saya tidak bisa memejamkan mata untuk tidur, saya bertanya kepada kaum muslimin, sehingga saya pun menanyakan kaum wanita di rumah-rumah mereka, siapa yang akan mereka pilih? Akhirnya saya ketahui bahwa mereka menginginkan Utsman. (Minhajussunnah An-Nabawiyah, Ibn Taimiyah jilid III hal 233)
Prinsif syura dalam Islam
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. 3:159)
Para Mufassir berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling banyak melakukan syura selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Ibnu Athiyah berkata, “Seorang imam yang tidak bermusyawarah, wajib diturunkan dari jabatannya.”
Pelaksanaan musyawarah ini tidak akan memungkin pelaksanaanya melibatkan seluruh umat, maka yang paling rasional adalah pemimpin ini bermusyawarah kepada perwakilan-perwakilan umat ini. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan ahlul hilli wal aqdi . Pada masa sekarang sulit untuk mengetahui kredebilitas mereka ini kecuali melalui penyeleksian dan pemilihan umum.
Prinsif syura ini lah yang memungkinkan umat ikut terlibat dalam pemerintahan, dengan diwakili oleh wakil-wakilnya tersebut. Kemudian masalah ini semakin penting karena ahlul hilli wal aqdi ini mempunyai otoritas untuk berbicara kepada pemimpin. Sehingga tidak terlibatnya kaum muslimin dan tokoh-tokohnya akan menghilangkan peran mereka dalam menyuarakan Islam di depan para penguasa ini.
Sikap kita terhadap sistem diluar Islam?
• Sistem Al-Jiwar (suaka polotik) pada masa jahiliyah . Rasulullah memasuki kota Makkah dengan suaka politik dari Al-Muth’im bin Ady. Kaum muslimin mendapatkan suaka politik dari Najasy Raja Habasyah.
• Hifdul Fudhul Yaitu berkumpulnya orang-orang di rumah Abdullah bin Jad’an untuk membela kaum tertindas, dalam hal ini Rasul mengatakan pertemuan ini seakan-akan memiliki onta merah, jika aku diundang untuk menghadiri pertemuan seperti ini (setelah menjadi nabi) maka akan aku penuhi undangan tersebut.
• Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “diperbolehkan menggunakan sarana apa saja (yang tidak bertentangan dg Islam) yang bisa menunjang tercapainya tujuan-tujuan yang diperintahkan dalam agaman”.
Jadi pengambilan sistem demokrasi adalah mengambil beberapa proses terdapat di dalamnya bukan semata demokrasinya, tetapi mengambil konsep syura yang terdapat di dalamnya, dan ikut dalam kesepakatan untuk menyelamatkan kondisi umat.
Kandungan makna persaksian (syahadah)
Allah berfirman “Dan janganlah para saksi menolak jika diminta kesaksiannya” (QS.Al-Baqarah: 282)…INI MEMBERIKAN PEMAHAMAN..jika anda meminta bantuan kepada seseorang untuk memberikan persaksian untuk pencatatan utang piutang, maka tidak boleh menolak atau ragu-ragu untuk memenuhinya, apalagi dalam persoalan yang lebih besar yang menyangkut kehidupan umat, mereka diminta untuk memilih wakil-wakilnya yang mewakilinya dalam penegakkan nilai-nilai Islam dan hukum Islam serta memelihara hak-hak kaum muslimin mengabaikan seruan tersebut? Dan bagaimana menolak seruan tersebut?
PEMILU SARANA DALAM MENGUBAH KEMUNGKARAN YANG BERSIFAT GLOBAL
• “Jika manusia melihat kezaliman dan tidak bertindak untuk mencegahnya, ditakutkan menjadi penyebab turunya azab dari Allah kepada mereka”.
• Peluang bagi wakil-wakil Islam untuk mengusung perundang-undangan yang dilandasi pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah
• Penyerahan amanah kepada Ahlinya “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanah pada Ahlinya” (QS.An-Nisaa: 59)
• Melalui lembaga ini juga wakil-wakil Islam punya wewenang untuk mengadili seorang pemimpin yang zalim

Wallahu’a’lam

Tidak ada komentar: