Kamis, 08 Oktober 2009

BISNIS YANG BERNILAI IBADAH



Bisnis Dalam Timbangan Syar’i
Bisnis, kata ini masih dienditikan dengan hubbud dunya (Cinta dunia), sebab pada prakteknya banyak orang yang terjebak jerat bisnis ini, sehingga bisnis ini sudah menjadi tujuan yang terus ingin dicapai, entah cara yang dipraktekan itu halal atau tidak yang penting adalah bagaimana menghasilkan barang yang sebanyaknya yang mampu mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda sebagaimana yang digambarkan dalam surah At-Takatsur : 1-8. Padahal dalam Islam konsep bisnis tidak semata hal tersebut, tapi menjadi posisi yang sangat mulia dan menjadi salah satu sarana yang menunjang tujuan hidup seorang muslim yaitu beribadah kepada Penciptanya. Salah satu pola pikir yang dikembangkan oleh para fukaha dalam menyikapi bisnis adalah tertuang dalam kaidah yang mengatakan, “Sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun menjadi wajib”, atau kaidah yang mengatakan, “Sarana mengikuti hukum tujuan”.
“Sebagaimana yang dijelaskan para fukaha bahwa kemaslahatan ummat tidak akan sempurna kecuali dengannya (bisnis) maka hal tersebut menjadi wajib kifayah. Kerajinan, pabrik-pabrik pengolahan, dan perdagangan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat menjadi wajib kifayah yang harus ada di antara orang-orang muslim yang menanganinya. Pergerakan yang terjadi di dunia ini tidak akan stabil kecuali adanya penunjang-penunjang tadi, sementara juga tegaknya agama sangat bergantung dengan kondisi dunia, yang jika orang-orang muslim meninggalkan hal ini maka bencana akan menimpa mereka, dan ketahuilah bahwa salah satu sebab terjadinya bencana adalah perbuatan dosa. Kondisi ini juga berarti mereka menempatkan dirinya dalam kebencanaan yang jelas di caci dalam islam. Jiwa manusia memang selalu terdorong untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis, maka banyak kalangan fukaha yang tidak terlalu memotivasi mereka untuk berbisnis tetapi lebih pada pengaturan tata cara bisnis yang Islami.”
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani mengatakan, “Jumhur Ulama menetapkan bahwa mengusahakan sesuatu yang dihajatkan adalah merupakan kewajiban.”
Di banyak ayat Al-Qur’an kita menemukan anjuran-anjuran berbisnis ini yang dalam bahasa Al-Qur’an diistilahkan dengan rizqi, dan Fadhlullah, sebagaimana ayat berikut:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ
“Dia lah yang telah menjadikan bagi kalian bumi terhampar maka berjalanlah di punggung-punggungnya dan makanlah dari rizqiNya. (QS.Al-Mulk:15)
Perhatikan juga ayat berikut;
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ
Jika kalian telah menunaikan shalat maka bertebaranlah ke muka bumi carilah keutamaan Allah” (QS.Al-Jumuah:10)
Dalam literature hadits tidak sedikit yang menjelaskan adanya anjuran-anjuran untuk berbisnis, perhatikan hadits berikut,
قال النّبيّ صلى الله عليه وسلم : « من ولي يتيماً له مال فليتّجر فيه ولا يتركه حتّى تأكله الصّدقة
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjadi wali bagi seorang anak yatim yang memiliki harta warisan (dari kedua orang tuannya) kemudian wali tersebut membisniskan hartanya dan ia tidak meningggalkannya, sehingga yatim itu bisa makan darinya maka itu adalah sedekah”.
“Tidak ada satu ediologi yang begitu keras atau banyak menganjurkan manusia untuk bekerja seperti halnya Islam. Ketika tiba di Madinah dalam hijrahnya Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam meminta kaum Anshar untuk mengangkat saudara kaum Muhajirin, rekan-rekan mereka yang berhijrah ke kota mereka. Banyak kaum Muhajirin bersedia diangkat saudara, dan dengan demikian terbebas dari keharusan untuk memulia hidup dari nol. Sebagian mereka menerima pinkaman sejumlah kecil modal untuk memulai hidup, yang mereka kembalikan kemudian. Tetapi yang paling disukai Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah mereka yangtidak mau menerima bantuan sedikitpun. Tanpa modal, peralatan atau keahlian, mereka pergi kepadang terbuka untuk mengumpulkan kayu bakar, mengendongnya di punggung dan menjualnya di kota; dan sedikit demi sedikit mereka menciptakan sendiri termpat berpijak di dunia perdagangan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam sebagaimana di jelaskan dalam hadits Zubair Radhiallahu Anhu, bersabda,
لِأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ ثُمَّ يَأْتِيْ الْحَبَلَ , فَيَأْتِيْ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَسْتَغْنِي بِهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ, أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ"
“Mengambilnya salah seorang di antara kalian seutas tali kemudian membawanya dan mengikatkannya pada setumpuk kayu kemudian menjual kayu tersebut, dan ia merasa cukup dengan hal itu, maka perbuatan itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada manusia, apakah mereka memberinya atau menolaknya”. HR. Bukhari (3/265), Muslim (1042)

Prinsip-Prinsip bisnis yang Islami
Jadi sebenarnya tidak ada yang salah dalam bisnis, bahkan seorang yang sukses dalam bisnis bisa meraih keridhaan Allah, sebagaimana disebutkan ada dua hal yang patut di inginkan oleh seorang muslim diantaranya adalah seseorang yang diberikan keluasan harta oleh Allah Ta’ala kemudian ia menghabiskan harta itu di jalan Allah. Sekarang yang timbul dibenak kita adalah bagaimana bisnis ini bisa bernilai ibadah dan menjadi sarana untuk meninggikan derajat seorang hamba di sisi Rabbnya. Pada prinsipnya bisnis islami itu tidak lepas dari hal-hal berikut:

1. Bisnis memiliki lapangan yang lebih luas dalam hal kreasi dan tata caranya.
Kaidah mengatakan, “Dalam Muamalah segala seuatu dibolehkan kecuali yang diharamkan”, strategi dan cara apapun yang diterapkan oleh seorang pembisnis maka hal itu dibolehkan selagi tidak masuk kedalam larangan-larangan syar’i. Dalam arti kata bahwa bisnis yang dilakukan harus bertanggung jawab pada alam, manusia dan makhluk yang lainnya, yang tergambar bahwa bisnis ini tidak sampai merusak hal-hal tersebut dalam proses pemanfaatannya. Juga Islam melarang seseorang untuk melakukan penipuan dan pemalsuan. Bisnis yang islami sangat menghindari seni penipuan dibalik iklan-iklan produk dan pengepakan barang yang tidak sesuai mutunya. Termasuk yang dilarang dalam muamalah adalah memperdagangkan modal yaitu mengambil kelebihan dari modal yang dipinjamkan atau dalam istilah syar’inya dikatakan sebagai riba. Orang-orang dulu pun yang belum tersentuh ajaran islam selalu mengatakan, “Uang tidak akan beranak uang”, sebagai bentuk pengingkaran mereka terhadap praktek ribawiyah. Salah satu yang juga dilarang dalam islam adalah adanya pemborosan dan pemubaziran dalam arti bahwa seorang pembisnis harus tahu betul bahwa dalam pemanfaat dan produksinya tidak berlebihan dan terjadi pemborosan.

2. Bisnis adalah sarana ibadah, yang terbaik dalam hal ini adalah meniru prilaku bisnis yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.Rasulullah adalah seorang nabi yang memang juga menjadi seorang pedagang yang dimulai sejak usia beliau menginjak 12 tahun sudah berkenalan dengan hal ini, dan ketika dewasa juga membawakan barang-barang Khadijah, seorang pengusaha kaya yang kelak menjadi istri beliau.
Empat sifat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang harus diteladani oleh setiap muslim adalah Shiddiq (Jujur), Amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdik dan pandai), dan tabligh (menyampaikan dengan baik). Sifat-sifat ini selalu ada dalam setiap sikap kehidupan beliau baik dalam rumah tangga, pergaulan dengan para sahabat-sahabatnya, dalam pengaturan kemasyarakan juga terdapat dalam prilaku bisnis beliau. Sementara kalau kita melihat ke kondisi umat islam sekarang ada pelaku bisnis yang cerdik tapi tidak dapat dipercaya, dan ada yang amanah dapat dipercaya tapi tidak cerdik dalam berbisnis, jadi sangat jarang ditemukan pembisnis yang memiliki kumpulan sifat-sifat ini, yang tentunya akan membuahkan bisnis yang menguntungkan dunia akhirat. Setidaknya seorang pembisnis yang cerdas dan amanah adalah pembisnis yang mampu menyakinkan dirinya dan tawakalnya kepada Allah bahwa ia harus untuk memperbaiki kehidupan dunianya untuk menopang ibadahnya dengan mulai menjalankan usaha dari modal yang ia punyai. Modal itu bisa berupa harta, kemampuan, relasi, dan lainnya yang memang mungkin dijadikan sebagai penopang usaha. Pembisnis yang baik juga mampu menguasi pasar yang berarti tahu ke mana membeli barang dengan lebih murah, tahu kemana menjual barang dengan lebih mahal, tahu kemana membeli barang lebih murah dengan bayaran ditangguhkan, dan tahu ke mana menjual barang dengan lebih tinggi secara tunai. Pembisnis yang baik juga mampu memproduksi sebagian barang sesuai dengan tuntutan pasar dan selanjutnya pembisnis yang baik adalah mampu memenej kegiatan bisnisnya agar selalu stabil dan inilah yang kadang menjadi kendala sebagian besar pembisnis muslim. Yang tak kalah penting bagaimana seorang pembisnis bisa menyakinkan pihak-pihak yang mungkin untuk menunjang modal usahanya.

3. Bisnis tidak serta merta bertujuan hanya sekedar mencari keuntungan.
Pola pikir ini yang harus ada dibenak pembisnis sebagai penetralisir godaan dunia, sebab jatuhnya banyak pembisnis kedalam hal-hal yang dilarang syar’i dan tindakan tidak terpuji karena mereka hanya memikirkan keuntungan tidak ambil peduli dari akibat yang terjadi kemudian, tidak ambil peduli apakah yang ia usahakan ini halal atau haram. Bisnis yang Islami keuntungan memang sesuatu yang dipatok, namun tidak melupakan unsur ta’awun (tolong menolong), etika islami, dan akhlak yang baik. Allah berfirman,

لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُم
“Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan kebathilan, kecuali dengan perdagangan secara ridha di antara kalian”. (QS.An-Nisa:29)
Dalam Islam pun tidak ada jawaban a priori bagi pertanyaan “berapa harga yang adil dan keuntungan yang adil itu”. Pertanyaan ini hanya dapat dijawab secara konkret dengan mempertimbangkan situasi yang ada, keuntungan yang berupa “rezeki nomplok” secara definitif tidaklah bertentangan dengan kesadaran moral islam, asalkan “rezeki nomplok” ini bukan hasil usaha manipulasi pasar, dan keuntungan yang tidak merugikan masyarakat. Dalam Islam memang tidak ada istilah kontrol harga, sehingga mencegah kerugian bagi produsen atau pedagang, dengan alasan bahwa perdagangan memang mengandung kemungkinan laba maupun resiko rugi.

4. Bisnis adalah perwujudan ketauhidan dan tawakal yang penuh kepada kekuasaan, takdir, pembagian rezeki, dan kasih sayang Allah ta’ala.Tawakal yang penuh kepada Allah dalam usaha merupakan kemutlakan karena di TanganNya lah rezeki ada. Sebesar apa pun yang diusahakan kalau memang Allah menghendaki sebaliknya maka tidak ada yang dapat menghindar. Tetapi perlu disadari bahwa Allah tidak lah menyia-nyiakan amal hambanya, ketika Allah memerintahkan untuk berbuat ihsan (profesional) dalam setiap aktivitas kehidupan kita, Allah telah menjanjikan hal yang terbaik yang kita dapatkan. Prilaku-prilaku syirik yang kemudian muncul dalam praktek-praktek bisnis akibat hilangnya ketawakalan kepada Allah ini. Bahkan tidak hanya menyandarkan praktek bisnisnya kepada sekutu-sekutu selain Allah mereka juga terkadang harus menganjal lawan bisnisnya dengan hal-hal tersebut. Demikianlah syetan selalu membisikan rasa kefaqiran dan kemungkaran yang apabila kita tidak sabar maka hal-hal yang diharamkan Allah akan dilanggar, Allah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari yang terbaik yang telah Kami rezeqikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika kalian hanya kepada Allah untuk menyembah”.(QS.Al-Baqarah:172)

Inilah beberapa refleksi dari bisnis yang mendatangkan nilai lebih, yang tidak hanya memberikan keuntungan duniawi tapi juga ukhrawi.

Tidak ada komentar: