Rabu, 19 September 2012

Hukum melafalkan niat dalam shalat

Sebagian besar ummat Islam di Indonesia semenjak kecil telah diajarkan sebelum shalat, maka harus berniat terlebih dahulu. Seperti “usholli fardha zuhri...” atau “ushalli fardha maghribi tsalatsa...” dan ushalli ushalli lainnya, dan menyandarkan hal ini sebagai mazhab Asy-Syafi’i, benarkah?.

Dalam banyak hal, kita dapatkan pendapat dari beberapa ulama syafiiyah menyatakan bahwa niat itu tidak diucapkan, diantaranya adalah ucapan Al-Imam An-Nawawi;
 قال اصحابنا والنية هي القصد فيحضر في ذهنه ذات الصلاة وما يجب التعرض له من صفاتها كالظهرية والفرضية وغيرهما ثم يقصد هذه العلوم قصدا مقارنا لاول التكبير ويستصحبه حتى يفرغ التكبير) المجموع شرح المهذب 3/278 maktabah syamilah Shahabat-shahabat kami berkata, “Niat itu adalah al-qashd (keinginan) yang dihadirkan dalam hati untuk shalat dan segala yang berkaitan dengannya seperti sifat-sifatnya seperti dzuhur, shalat fardhu dan selain keduanya, kemudian keinginan shalat ini (al-Qashd) ini berbarengan dengan takbir pertama, dan terus mennyertainya hingga selesai takbir (al-majmu’ syarh Al-Muhadzzab 3/278 maktabah syamilah) Di tempat lain beliau secara tegas mengatakan,

 يجب أن يبتدئ النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان ويفرع منها مع فراغه منه

Wajib memulai niat dengan hati disertai memulai takbir dengan lisan, niat itu selesai bersama selesainya takbir (3/277) . Adapun melafalkan niat dengan ucapan ushalli fardh... sebenarnya itu bukanlah pendapat Imam Syafi’i melainkan pendapat Abdullah Az-Zubairi, salah satu ulama bermadzhab Syafi’i. Sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi,

وقال صاحب الحاوى هو قول ابى عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان لان الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير

Dan berkata Pengarang Al-Hawi, “Itu adalah ucapan Abdullah Az-Zubairi, sesungguhnya beliau berpendapat, tidak cukup bagi seseorang dalam hal niat, kecuali dengan mengumpulkan antara niat dalam hati dengan ucapan lisan, karena Imam Syafi’i mengatakan dalam bab haji: ‘Apabila ia berniat haji atau umroh (dalam hati), maka itu sudah cukup baginya, meski tanpa ucapan, tidak seperti sholat yang tidak sah kecuali dengan ucapan’…. (Imam Nawawi mengatakan): “Para sahabat kami mengatakan: Orang ini (Abdullah Az-Zubairi) telah jatuh dalam kesalahan, karena yang dimaksud oleh Imam Syafi’i ‘ucapan dalam sholat’ adalah ucapan takbir bukan ucapan niat.... (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzdzab 3/241)
Dan hal ini berarti, bahwa pendapat yang mendukung adanya pelafalan atau pengerasan niat jatuh ke dalam derajat yang sangat lemah dan bahkan para ulama membid’ahkannya. Hal ini dikarenakan beberapa hal, diantaranya:  
Yang pertama, bahwa pendapat ini hanya disampaikan oleh satu orang, yaitu Az-Zubairi dan kemudian diambil oleh banyak orang.  
Yang kedua, Az-Zubairi salah memahami perkataan Imam Syafi’i mengenai antara niat haji dan shalat. Yang dikeraskan dalam shalat yang dimaksud adalah takbir, dan bukan niatnya.
Yang ketiga, seandainya pun Az-Zubairi menqiyaskan (menganalogikan atau menyamakan) antara niat haji yang dikeraskan dengan niat shalat, maka hal ini pun keliru. Niat shalat tidak boleh disamakan dengan niat haji, karena pada dasarnya perintah shalat turun terlebih dahulu sebelum haji. Dan kaidah penting dalam ilmu fiqh adalah yang terdahulu tidak boleh disamakan dengan apa yang turun sesudahnya.  
Yang keempat, tidak ada dalil yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang memerintahkan untuk melafalkan niat. Jika ada hadits-nya maka hadits itu derajatnya dhaif (lemah). Sama sekali tidak ditemukan riwayat yang shahih mengenai anjuran mengeraskan niat, baik itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, tabi’in, dan imam 4 madzhab. (Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, Al-Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah)
Bahkan, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad dan Al-Huda An-Nabawi menyatakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk shalat beliau mengucapkan “Allahu Akbar” dan beliau tidak berkata apapun selain itu. Beliau juga tidak melafalkan niatnya dengan keras. Beliau tidak berkata, “Saya berniat shalat karena Allah begini dan begini sambil menghadap kiblat, empat rakaat...” (Al-Minzhar hal. 22) "Niat letaknya di hati, bukan di lisan, berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Hal ini mencakup seluruh ibadah, seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, pembebasan budak, jihad, dan lain sebagainya" (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu'ah Ar Rasail Al Kubra I/243) Dengan begini, jelaslah kepada kita bahwa mengeraskan atau melafalkan niat dalam shalat adalah perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salafushshalih. Melainkan karena pendapat satu ulama –yang semoga Allah merahmatinya dan mengampuninya- yang tidak memiliki dalil yang shahih. Faidah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Seandainya ia mengatakan dengan lisannya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diniatkannya dalam hatinya, maka yang menjadi patokan adalah apa yang diniatkannya bukan apa yang diucapkannya. Seandainya ia berkata dengan lisannya, namun tidak ada niat dalam hatinya, maka hal itu tidak sah berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin. Karena niat itu sejenis maksud dan tekad" (Lihat Shahih Fiqh Sunnah I/148, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim)