Kamis, 08 Oktober 2009

Al-Kautsar, anugerah Allah


إِنَّآ أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ {1} فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ {2} إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ {3}

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membeci kamu dialah yang terputus. (QS. 108:1-3)


Ayat yang mulia ini merupakan firman Allah ta’ala yang langsung ditujukan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Karena memang anugerah Al-Kautsar hanya diberikan kepada beliau. Berdasarkan beberapa riwayat yang shahih, al-Kautsar adalah telaga di surga yang Allah anugerahkan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, diantaranya hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di dalamnya dijelaskan;
“Dari Anas ia berkata: “Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Aku memasuki surga tiba-tiba aku berada di sebuah sumur yang dikelilingi hiasan dari mutiara, kemudian aku menyeduk air yang mengalir di dalamnya ternyata tercium bau minyak misk, kemudian aku bertanya kepada Jibril sumur apakah ini? Ia berkata: “Inilah Al-Kautsar yang Allah berikan kepadamu”. (HR.Bukhari dan Muslim, serta ada beberapa riwayat senada yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu DAwud, An-Nasai, dan lain-lain)
Dalam beberapa riwayat yang lain dikatakan bahwa di dalam Al-Kautsar ada kebaikan yang banyak. Dari semua itu sangatlah disadari bahwa kebaikan yang tak terbatas baik yang ada di dunia maupun di akhirat telah Allah anugerahkan pada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam, yang juga berarti bagi umatnya tanpa terbatas. Sehingga jelaslah ayat yang mulia ini merupakan teguran bagi setiap muslim, untuk menyadari bahwa apa yang ia miliki di dunia dan di akhirat hakikatnya adalah milik Allah. Kalau sementara ini ia memilikinya maka itu tidak lebih dari karunia yang Allah berikan kepadanya. Karenanya merupakan keadilan mutlak kalau Allah ta’ala menggambilnya kembali atau memerintahkan hamba-Nya untuk mengorbankannya sesuai syariat yang Dia terapkan. Merupakan kesombangan jika seorang hamba menolak apa yang Allah tetapkan baginya. Kesombangan yang tidak akan mampu mempertahankan apa yang ia sangka miliknya, bahkan lebih tragis lagi menghancurkan segala yang ada pada dirinya.

BISNIS YANG BERNILAI IBADAH



Bisnis Dalam Timbangan Syar’i
Bisnis, kata ini masih dienditikan dengan hubbud dunya (Cinta dunia), sebab pada prakteknya banyak orang yang terjebak jerat bisnis ini, sehingga bisnis ini sudah menjadi tujuan yang terus ingin dicapai, entah cara yang dipraktekan itu halal atau tidak yang penting adalah bagaimana menghasilkan barang yang sebanyaknya yang mampu mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda sebagaimana yang digambarkan dalam surah At-Takatsur : 1-8. Padahal dalam Islam konsep bisnis tidak semata hal tersebut, tapi menjadi posisi yang sangat mulia dan menjadi salah satu sarana yang menunjang tujuan hidup seorang muslim yaitu beribadah kepada Penciptanya. Salah satu pola pikir yang dikembangkan oleh para fukaha dalam menyikapi bisnis adalah tertuang dalam kaidah yang mengatakan, “Sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun menjadi wajib”, atau kaidah yang mengatakan, “Sarana mengikuti hukum tujuan”.
“Sebagaimana yang dijelaskan para fukaha bahwa kemaslahatan ummat tidak akan sempurna kecuali dengannya (bisnis) maka hal tersebut menjadi wajib kifayah. Kerajinan, pabrik-pabrik pengolahan, dan perdagangan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat menjadi wajib kifayah yang harus ada di antara orang-orang muslim yang menanganinya. Pergerakan yang terjadi di dunia ini tidak akan stabil kecuali adanya penunjang-penunjang tadi, sementara juga tegaknya agama sangat bergantung dengan kondisi dunia, yang jika orang-orang muslim meninggalkan hal ini maka bencana akan menimpa mereka, dan ketahuilah bahwa salah satu sebab terjadinya bencana adalah perbuatan dosa. Kondisi ini juga berarti mereka menempatkan dirinya dalam kebencanaan yang jelas di caci dalam islam. Jiwa manusia memang selalu terdorong untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis, maka banyak kalangan fukaha yang tidak terlalu memotivasi mereka untuk berbisnis tetapi lebih pada pengaturan tata cara bisnis yang Islami.”