Selasa, 09 Februari 2010

Buah kesabaran dalam berbuat baik

Abu Al-Qasim Abdullah bin Abu Al-Fawaris Al-Baghdadi menuturkan: “Aku mendengar Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzaz Al-Anshari menuturkan;
Aku tinggal di dekat Makkah. Suatu hari aku merasa sangat lapar, tapi kau tidak mempunyai makanan. Tiba-tiba aku menemukan sebuah bungkusan dari Ibrisim yang diikat dengan rumbai yang terbuat dari Ibrisim juga. Aku kemudian mengambilnya dan membawanyake rumah.
Sesampai di rumah kubuka bungkusan itu, ternyata isinya sebuah kalung mutiara yang indah. sungguh aku belum pernah pernah melihat kalung mutiara yang seindah ini. Aku kemudian keluar, tiba-tiba ada orang tua yang membawa sebungkus pundi berisi uang limaratus dinar. Ia berkata, “Uang ini untuk orang yang mengembalikan kepada kami sebuah bungkusan berisi kalung mutiara”. Aku berkata dalam hati, “Aku sekarang benar-benar terdesak, aku lapar, bagaimana kalau aku terima uang emas itudan mengembalikan bungkusan tadi. Akhirnya aku katakan kepada orang tua itu, “Mari, ikut aku”
Aku membawanya ke rumah, lalu ia menyebutkan cirri-ciri bungkusan tersebut. Aku pun keluarkan bungkusan itu dan menyerahkan bungkusan tersebut kepadanya. Ia mengambil bungkusan itu dan memberikan uang lima ratus dinar tadi kepadaku, tapi aku tak mau mengambilnya dan aku katakan kepadanya saya berkewajiban mengembalikan bungkusan itu kepada anda, dan saya tidak mau mengambil upah apapun darinya. Ia tetap memaksaku menerima uang itu, tapi aku menolaknya. Akhirnya ia pun pergi.
Selanjutnya aku keluar dari Makkah dan berlayar di lautan. Tiba-tiba perahu kami karam, dan semua penumpangnya tenggelam, hanya aku yang selamat. Aku terapung di atas sebatang papan, dan terombang ambing entah ke mana, sampai akhirnya aku terdampar di sebuah pulau yang ditinggali sekelompok kaum. Aku menginap di sebuah masjid mereka. Mereka mendengar ku membaca Al-Qur’an, selanjutnya semua orang yang tinggal di pulau itu datang untuk dianjurkan mengaji kepadaku, dan aku pun banyak mendapatkan uang dari orang-orang tersebut, dari mengajarkan mereka mengaji.
Di masjid itu aku juga melihat beberapa lembar mushaf, aku mengambil dan membacanya. Melihat itu penduduk setempat bertanya kepadaku, “Apakah anda bisa menulis?” aku menjawab, “Ya saya bisa”, mereka berkata, “Kalau begitu ajarkan kami menulis”.
Akhirnya semua penduduk belajar menulis kepadaku, aku juga memperoleh banyak uang dari mengajar menulis. Pada suatu hari mereka berkata kepadaku, “Guru di sini ada seorang anak yatim, yang punya banyak harta, kami ingin anda menikah dengannya”. Semula aku menolak, tapi karena aku terus didesak, akhirnya aku menyetujui.
Ketika perempuan itu di bawa kepadaku (setelah akad nikah untuk melaksanakanmalam pertama), aku melihat ia memakai sebuah kalung indah menghiasi lehernya. Malam itu tak ada pekerjaan lain yang aku lakukan selain memandangi kalung tersebut. Keesokan harinya orang-orang ramai mendatangiku dan berkata, “Ya Syaikh, anda telah mematahkan hati si gadis yatim, karena perbuatan anda yang hanya memperhatikan kalungnya”. Aku pun menceritakan kepada merekakisahku dengan kalung itu, ketika aku masih di Makkah dulu. Selesai mendengar kisahku mereka langsung bertakbir, dan bertahlil, sehingga suasana menjadi hiruk pikuk, bahkan sampai ke seluruh penjuru pulau. Aku heran dan bertanya alasan mereka sampai sedemikian rupa. Mereka lantas menceritakan bahwa orang tua yang mencari kalung itu waktu di Makkah adalah ayah gadis tersebut. Begitu menemukan kalung itu ia berkata, “Aku tak melihat di dunia ini ada seorang muslim selain orang yang mengembalikan kalung ini kepadaku”. Setelah itu ia senantiasa berdoa, “Ya Allah satukan aku dengan pemuda yang mengembalikan kalung ini kepadaku, agar aku bisa menikhakannya dengan putriku”. Sekarang, doa orang tua itu telah terkabul.
Begitulah aku kemudian menetap bersama istriku di sana dan kami dikaruniai 2 orang anak. Kemudian ia meninggla, dan kalung tadi menjadi warisan untukku, dan kedua anakku. Berikutnya ternyata kedua anakku meninggal dunia sehingga kalung tadi menjadi milikku. Aku kemudian menjual kalung itu seharga seratus ribu dinar (Empar ratus kilogram emas) semua harta yang kalian lihat ada padaku saat ini adalah sisa dari harta tersebut”.
Ibnu Rajab Al-Hambali memberikan komentar, “Demikianlah kisah ini sebagaimana yang diceritakan oleh Yusuf bin Khalil al-Hafizh dalam Mu’jam-Nya yang juga di ungkapkan oleh An-Najjar dalam Tarikh-nya.

Tidak ada komentar: